Wednesday, March 6, 2013

'Perjalanan Pulang' Keluarga Sultan Sulu ke Sabah

Pengikut mantan Sultan Sulu Jamalul Kiram III melakukan protes di depan Masjid Biru di Taguig, Filipina, (1/3). Menurut mereka Sabah yang sekarang menjadi bagian Malaysia, merupakan wilayah Kesultanan Sulu yang disewakan kepada pemerintah kolonial Inggris. (AP Photo/Bullit Marquez)


TEMPO.CO, Manila - Senin pagi empat pekan lalu, Raja Muda Agbimuddin Kiram dan sekitar 1.000 pengikutnya, termasuk pasukan bersenjata yang ia sebut Tentara Kerajaan Kesultanan Sulu dan Borneo Utara, meninggalkan Kepulauan Simunul di Tawi-tawi, Filipina bagian selatan. Menggunakan kapal cepat, rombongan itu melaju ke Sabah, Malaysia.

Agbimuddin adalah adik Sultan Jamalul Kiram III, dari Kesultanan Sulu, di Filipina Selatan. Ia mengatakan pendaratannya di Lahad Datu, Sabah, 11 Februari lalu, itu bukan sebagai agresi, melainkan "perjalanan pulang". Peristiwa itu menjadi perhatian besar setelah mereka terlibat kontak senjata dengan Pasukan Keamanan Malaysia, yang hingga Senin, 4 Maret 2013, setidaknya menewaskan 26 orang.

Pendaratan itu, yang merupakan bagian dari upaya mereka untuk mengklaim kembali Sabah, dilakukan Kesultanan Sulu karena merasa dikhianati dan ditinggalkan dalam proses perdamaian antara pemerintah dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Abraham Julpa Idjirani, juru bicara dari Kesultanan Sulu, mengatakan, rencana ini dipersiapkan akhir tahun lalu tak lama setelah pemerintahan Aquino menandatangani perjanjian dengan MILF.

Kesultanan Sulu merasa punya dasar untuk mengklaim Sabah sebagai wilayah mereka. Menurut keluarga kesultanan, Sabah--yang sebelumnya bernama Borneo Utara--diserahkan oleh Sultan Brunei kepada Sultan Sulu pada 1704. Pemberian itu sebagai hadiah atas bantuan Sultan Sulu yang membantu menumpas pemberontakan melawan Sultan Brunei.

Ayah Jamalul II, Sultan Jamalul Ahlam, salah satu ahli waris, menyewakan Sabah kepada British North Borneo Co pada 1878. Imbalannya, perusahaan Inggris itu akan membayar 5.300 keping emas Meksiko per tahun untuk Kerajaan Sulu--versi lain mengatakan US$ 5.000. Pembayaran itu terus dilakukan sampai Jamalul II meninggal pada 1936.

Setelah kematian Jamalul II, Konsulat Inggris di Manila merekomendasikan penangguhan pembayaran karena Presiden Manuel L. Quezon tidak mengakui pengganti Jamalul II. Sultan Punjungan Kiram, putra mahkota kesultanan pada saat kematian Jamalul II, pergi ke Konsulat Inggris di Manila untuk menuntut adanya pembayaran kembali.

Setelah ada putusan pengadilan, British North Borneo Co kembali melakukan pembayaran. Saat Sabah masuk Federasi Malaysia pada 1963, pembayaran dilakukan dalam bentuk ringgit. Sejak itu, setiap tahun Kedutaan Besar Malaysia di Filipina mengeluarkan cek sebesar 5.300 ringgit (sekitar 77 ribu peso) kepada keluarga Jamalul Ahlam. Malaysia mengatakan uang itu sebagai "penyerahan" pembayaran tahunan untuk daerah yang disengketakan, sementara keturunan sultan menganggapnya sebagai uang "sewa".

Pada Juli 2008, ada laporan yang menyebutkan bahwa ahli waris membatalkan klaim atas Sabah, tapi klaim itu dianggap bohong. Setelah itu, ahli waris berusaha untuk mendapatkan perhatian dari pihak berwenang dengan meminta kenaikan "biaya sewa", tapi tidak berhasil.

Februari 1999, mendiang Putri Denchurain Kiram, Putri Tarhata, menulis surat kepada Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad melalui mantan Presiden Joseph Estrada untuk meminta peningkatan sewa tahunan. Sampai dia meninggal pada September 2000, surat balasannya tak pernah datang.

Sejumlah langkah terus dilakukan pihak Sulu. Pada Januari 2001, keluarga sultan menulis surat yang mirip kepada Mahathir melalui Presiden Gloria Macapagal-Arroyo. Usaha serupa kembali dilakukan pada dua tahun berikutnya, tapi juga tak berhasil. Upaya serupa dilakukan pada Februari 2005. Saat itu ahli waris menulis surat kepada Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi, dan mendapatkan hasil yang sama.

Menurut Patricio N. Abinales, profesor studi Asia di Universitas Hawaii, aksi yang dilakukan orang dari Kesultanan Sulu ini juga disebabkan dari kurangnya perhatian Manila terhadap daerah yang berada di wilayah selatan itu. Tak mengherankan jika seorang perwira Angkatan Udara Malaysia pernah mengenang bagaimana mereka dengan mudahnya membawa senjata dari Sabah ke kamp Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) pada puncak perang Mindanao pada 1970-an.

Saat tentara Sulu bentrok dengan aparat keamanan Malaysia, juga tak terdengar suara dukungan dari dua gerakan muslim, yaitu MILF dan MNLF. Abinales mengaku tak heran dua kelompok muslim itu tak bersuara dalam soal ini. Ia menduga karena dua organisasi itu telah berdamai dengan Manila dan telah menerima tawaran otonomi. Selain itu, keduanya berterima kasih atas dukungan pemerintah Malaysia untuk perjuangan separatis mereka pada masa lalu. "Jika MILF dan MNLF ikut membantu klaim Sulu atas Sabah, itu sama dengan air susu dibalas dengan air tuba," kata dia.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Follow Twitter

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls