Tuesday, August 17, 2010

Letkol UNTUNG, Tokoh Kunci G.30. S/PKI


                                                           

Letkol Untung, tokoh kunci G.30 S/PKI adalah salah satu lulusan terbaik Akademi Militer. Pada separuh pertama dekade 60-an, ia bersaing dengan Benny Moerdani, perwira muda yang sangat menonjol dalam lingkup RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Baik Benny maupun Untung menunjukkan keberanian yang luar biasa pada operasi perebutan kembali Irian Barat ke pangkuan RI. Dalam operasi tersebut, Untung menjadi anak buah Soeharto yang dipercaya menjadi Panglima Mandala.

Sebelum ditarik ke Resimen Cakrabirawa, Letkol Untung pernah menjadi Komandan Batlyon 454/Benteng Raiders yang berbasis di Srondol, Semarang. Batalyon ini memiliki kualitas dan tingkat legenda yang setara dengan Yonif (batalyon Infanteri) Linud 3288/Kujang II. Namun batalyon ini juga terlibat G.30.S, bahkan sempat bertempur dengan pasukan elite RPKAD pimpinan Kolonel Sarwo Edhi (mertua SBY). Usai G.30.S, kode angka batalyon Benteng Raiders diganti menjadi Batalyon 401.

Setelah G.30.S meletus dan ternyata tidak mendapat dukunganSoekarno, Untung pun melarikan diri. Ia menghilang beberapa bulan, sebelum tertangkap secara tidak sengaja oleh dua orang anggauta Armed di Brebes Jateng. Ketika tertangkap, dia tidak mengaku bernama Untung. Anggauta Armed yang menangkapnya, juga tidak menyangka kalau ia adalah pemegang komando operasional G.30.S. Setelah diperiksa di markas CPM Tegal, baru diketahui bahwa ia Untung.
Menurut versi resmi Soeharto, yang menangkap Untung bukanlah anggauta Armed, melainkan rakyat. Melalui sidang kilat dalam Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa), Untung pun dieksekusi mati pada tahun 1969 di Cimahi Jawa Barat.

Bagi Soeharto, nama Untung bukanlah nama orang lain. Hubungan keduanya cukup dekat. Kecuali ketika bertugas di Irian, Soeharto pernah jadi atasan Untung di Kodam Diponegoro. Indikasi kedekatan Soeharto dan Untung ditunjukkan pada kehadiran Soeharto bersama Ny.Tien pada resepsi pernikahan Untung di Kebumen Jawa Tengah, beberapa bulan sebelum G.30 S meletus.

Kedatangan seorang komandan pada resepsi pernikahan anak buahnya memang hal yang biasa. Namun tampaknya ada hal khusus yang mendorong Soeharto dan istrinya hadir pada pernikahan Untung. Jarak Jakarta-Kebumen tidak cukup dekat, apalagi dalam situasi tahun 1965-an ketika sarana transportasi serba terbatas !!!

Biografi Singkat D. N. Aidit


D. N. Aidit saat muda
D. N. Aidit saat muda
Memahami peranan D.N Aidit, dalam konstelasi politik Orde Soekarno tidaklah sulit. Aidit dapat kita kenal dalam lembaran sejarah Orde Soeharto sebagai seorang tokoh penting dalam PKI. Selain itu ia dikenal dekat Sukarno dan juga diduga menjadi otak intelektual terjadinya peristiwa G 30 S. Akan tetapi pemaparan Aidit sebagai bagian konstruksi sejarah politik di Indonesia, tentunya agak sedikit menyulitkan. Terutama karena tokoh Aidit selama kurun 32 tahun telah sedemikian rupa didistorsikan sebagai simbolisme negativa ketokohan politik di Indonesia. Sehingga terjadi kesulitan menjelaskan mengenai peran sejarah tokoh ini pada “apa yang ada pada realita historisnya sendiri”.
Walaupun ia adalah tokoh penting dalam kesejarahan Indonesia, seluruh kehidupan D.N Aidit tampak, masih sebagai sebuah teka-teki yang urung terselesaikan. Aidit memulai karir politiknya sejak awal bersama ideology komunis yang diyakininya. Aidit pun mati ditembak oleh sekawanan tentara “Pancasilais”, karena ideologinya yang komunis serta tuduhan makar tanpa adanya proses peradilan.
Tulisan ini sedikitnya ingin berupaya memberi gambaran selintas mengenai sang tokoh. Terutama mengenai perjalanan sejarah tokoh Aidit secara ideologis. Dalam hal ini Aidit dilihat sebagai seorang tokoh penting PKI yang menjalankan arah kebijakan Partai Komunis itu hingga dihancurkan dalam tragedy Gestok. .
Masa Muda Aidit
Soegiarso Soerojo menyebutkan bahwa nama lengkap D.N Aidit sebenarnya bukanlah Dipa Nusantara Aidit yang sebagaimana kita kenal luas. Melainkan nama sebenarnya adalah Djafar Nawawi, anak haji Aidid dari bangka. Tak begitu jelas bagaimana Aidit menghabiskan masa kecilnya, yang pasti sebagaimana anak desa kebanyakan ia bergaul dengan teman sebayanya, setiap sore pergi mengaji dan ketika malam tidur di Surau. Latar belakang demikian, justru memberi jejak asal-muasal yang kontras bagi pribadinya, ketika kelak ia menjadi petinggi partai komunis, yang justru sering dianggap anti-Tuhan.
Ketika menginjak usia remaja, pemuda Aidit pergi merantau ke Jawa. Di Jawa ia berguru kepada tokoh pergerakan islam terkemuka, H.O.S Tjokrominoto. Tjokro, banyak mengajarkan sebuah hal-hal yang selama ini jauh dari ia bayangkan. Kesenjangan antara kelompok kaya-miskin, persoalan kolonialisme dan cita-cita kemerdekaan secara utuh adalah tema-tema pelajaran yang cukup mempengaruhi Aidit. Konon, dari Tjokro-lah Aidit mengenal dan meyakini komunis sebagai ideology politik yang cocok baginya. Patut diingat bahwa dari Tjokro juga lahir cabang gerakan ideology lainnya: Soekarno yang nasionalis dan Kartosuwiryo yang islamis. Sehingga kita dapat saksikan bahwa antara, Soekarno, Kartosuwiryo dan Aidit (baca: Nasakom), sesungguhnya bermuara kepada satu sumber yang sama (?).
Menjelang pecahnya revolusi agustus 1945, Aidit adalah salah seorang tokoh terkemuka pemuda menteng 31. Bersama Chaerul Saleh, Adam Malik, Wikana, A.M Hanafi dan Soekarni, ia adalah tokoh yang cukup aktif dalam menekan tokoh-tokoh angkatan tua untuk mendeklarasikan proklamasi.
Seusai proklamasi, sehubungan dengan anjuran berdirinya partai-partai akibat maklumat X Hatta maka berdirilah Partai Komunis Indonesia (PKI). sifat kepemudaan yang revolusioner serta ideology partai yang dianggap sepaham dengan keyakinan individualnya, membawa Aidit memasuki Partai Komunis Indonesia tersebut. Peran Aidit dalam partai, antara 1945 hingga dihancurkannya PKI dalam peristiwa Madiun 1948 tidaklah begitu banyak. Tak begitu dikenal bagaimana kehidupan Aidit antara masa-masa ini, selain daripada ia dicatat sering menghadiri rapat-rapat yang diadakan PKI. Yang pasti, ketika PKI dihancurkan pada 1948, Aidit berhasil lolos dari kejaran tentara Hatta dan kemudian menyingkir keluar negeri guna menimba ilmu (Peking?).
Aidit, PKI dan Demokrasi Terpimpin
Ketika kembali ke Indonesia pada awal 1950-an. Situasi Indonesia sudah sejak jauh berbeda. Sukarno membuka pemahaman rekonsiliasi terhadap seluruh komponen yang ada dalam kehidupan bernegara dari kelompok ideology manapun, untuk mempertahankan bersama keutuhan dan kemerdekaan negeri ini dari rongrongan neo-kolonialisme dan imperialisme (Nekolim). Anjuran Sukarno tersebut, membuka ruang bagi tokoh-tokoh PKI muda untuk membangun kembali organisasinya. PKI yang sempat dibangun oleh tokoh tua, Alimin dan Pono. Kemudian berhasil direbut oleh tokoh yang lebih muda: Aidit, Nyono, Waluyo dan lain lain. Jabatan tertinggi dalam kepartaian yaitu Sekretaris Djendral dipegang oleh D.N Aidit.
Dibawah pimpinan D.N Aidit, PKI mulai menggalakkan kembali membangun kinerja organisasinya. PKI menjelaskan kepada komponen bangsa lainnya bahwa partainya adalah partai kader yang mengedepankan Indonesia yang bermartabat. Aidit amat rajin membangun organisasinya secara sistematis, dengan masa garapannya meliputi masa tani dan buruh terutama yang berasal dari status sosial menengah-kebawah. Secara khusus Aidit menyebut partainya sebagai partai ploretariat, partainya rakyat banyak. Untuk membela partainya terhadap cemoohan peristiwa madiun 1948. Aidit kemudian menulis pembelaan partainya lewat tulisan Menggugat peristiwa Madiun, sebuah tulisan yang isinya menyebutkan bahwa saat itu PKI adalah pihak yang diprovokasi oleh Hatta dan menjadi korban (bukan pelaku!).
Lewat pola pengorganisasian yang rapi dan terkoordinasi, PKI dengan cepat dapat memperluas keanggotaannya. Terlebih, ketika itu PKI adalah satu-satunya partai yang selalu mengambil bagian terdepan untuk membela kepentingan masyarakat yang termarjinalkan, sebagaimana issue land reform yang menjadi issue utamanya pada era 60-an. Selain itu dukungan secara tidak langsung Sukarno terhadap partai ini, membuat daya tarik sendiri bagi masyarakat luas. Secara garis besar dukungan atau simpati Sukarno tampak, karena PKI lah satu-satunya partai yang terdepan dalam mendukung setiap kebijakan presiden.
Aidit, pada akhirnya terbujuk untuk berpartisipasi melakukan kolaborasi dengan Sukarno. Ada kesan bahwa Aidit telah terbentur kepada kepentingan pragmatis (yang tergesa-gesa) untuk membangun partai. Secara ideologis, Soekarno atau PNI merepresentasikan basis kepentingan borjuasi nasional yaitu kelompok priyayi jawa-abangan, yang dalam teoritisi marx termasuk dalam kelompok lawan yang harus dihantam. Dengan demikian, terjadi perselingkungan ideologis Aidit terhadap Marx, karena Aidit bertindak bersekutu dengan kelompok non-ploretar. Aidit tentu saja memiliki sandaran argumentasi ideologis pada basis teori Lenin mengenai revolusi dua tahap yaitu melawan imperialisme dan kapitalisme. Untuk sementara dalam melawan kekuatan Nekolim maka kompromi dengan kekuatan borjuasi nasional dibolehkan, demikian interpretasi Aidit.
Secara meyakinkan apa yang dilakukan Aidit menuai keberhasilan dalam PEMILU 1955. PKI dibawah Aidit telah membuktikan bahwa partainya menjadi salah satu dari empat kekuatan besar di Indonesia, mengalahkan PSI Sjahrir, IPKI-nya Nasution atau Murba warisan Tan Malaka. Hasil ini secara meyakinkan kembali meningkat dalam PEMILU 57, dimana didaerah jawa PKI mendapat suara peringkat pertama mengalahkan PNI, NU dan. Masjumi.
Hasil ini membuat Sukarno memaksa partai lain bahwa diperlukannya strategi pembangunan tiga kaki yang berlandaskan pada ajaran Nasakom. Untuk itu PKI sebagai bagian kekuatan empat besar, kiranya berhak untuk menduduki kursi dalam pemerintahan. Sebuah tawaran yang kemudian mendapat tanggapan sengit dari pihak islam (NU dan Masyumi). Padahal maksud Sukarno untuk memasukkan PKI dalam pemerintahan, justru secara ekonomis, sangat tidak menguntungkan partai. Sukarno ingin memaksa PKI turut bertanggung-jawab dalam pemerintahan. Sehingga PKI kelak tidak memiliki alasan untuk melakukan aksi makar atau aksi pemogokan buruh, yang dapat merugikan atau mengurangi kewibawaaan pemerintah. Ketika pada akhirnya PKI dimasukkan dalam struktur kabinet, hasil ini terlihat, karena PKI tidak diberikan kursi kabinet yang singnifikan atau menguntungkan secara ekonomi.
Menjelang 65, kekuatan PKI dan Aidit, bisa dikatakan sudah berada diatas angin. Musuh ideologis yang non-kompromis terhadap mereka yaitu PSI, Masyumi dan Murba sudah dibubarkan. Dengan demikian jalan perebutan kekuasaan secara kompromis lewat parlemen yang legal, amat terbuka lebar bagi PKI. Apalagi saat itu Presiden Soekarno bertindak seakan-akan pelindung bagi PKI. Baik itu lewat konsepsi revolusi dua tahapnya, ataupula lewat proyek Dwikora dan konfrontasi dengan blok kapitalis yang semakin menjadi-jadi.
Posisi PKI yang saat itu sudah amat diuntungkan, akhirnya berakhir dengan peristiwa G 30 S. Peristiwa G 30 S yang diduga atau dituduhkan dilakukan oleh PKI, anehnya justru berdampak buruk bagi perkembangan PKI sendiri. Peristiwa ini menjadi alasan bagi penghancuran serta pembunuhan terorganisir kader dan simpatisan PKI oleh tentara. Dan terbesar tentunya bagi pemarjinalan secara politis PKI dari panggung politik di Indonesia untuk selamanya.
Aidit sebagai tokoh nomer wahid PKI, tak lepas dari proses penghancuran itu. Walau keterlibatannya tidak secara jelas dapat dibuktikan oleh lembaga peradilan -karena semuanya masih samar-. Tokoh kemerdekaan dan pembangunan Indonesia yang demokratis-kerakyatan itu, akhirnya harus merelakan darahnya menjadi tumbal bangsanya ditangan tentara pancasila. Aidit harus rela menyusul amir Syarifuddin, Maruto Darusman, Musso, orang-orang yang menjadi panutan dan telah mendahuluinya ditangan tentara. Ada orang yang bergembira atas kematiannya, ada juga yang menangisinya.

Musso , pemimpin pemberontakan PKI Madiun


“Madiun sudah bangkit
Revolusi sudah dikobarkan
Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik
Pemerintahan buruh dan tani yang baru sudah dibentuk”

Pemberontak. Inilah kesan yang pertama kali ditangkap oleh sebagian besar bangsa Indonesia terhadap Musso. Label ini melekat setelah ia dituduh sebagai pemimpin pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948.
Namanya pun tenggelam di tengah arus sejarah Indonesia kontemporer. Perjuangannya selama pendudukan Belanda seolah-olah sia-sia akibat label pemberontak itu. Apalagi ditambah dengan komunisto-phobi yang masih melekat kuat pada bangsa Indonesia. Label PKI lah yang sesungguhnya mengubur semua sejarahnya di Indonesia. 
Musso merupakan tokoh pergerakan legendaris yang sezaman dengan Tan Malaka. Keduanya sama-sama tokoh PKI, tapi berbeda pandangan dalam melihat peristiwa 1926. Tan Malaka menolak pemberontakan tersebut karena basis ide dan massa sebagai prasyarat memberontak belum terpenuhi. Namun, Musso berpendapat beda sehingga mereka pecah kongsi. Meski demikian, pergerakan mereka tak berhenti. Keduanya bergerak dengan cara beda, tapi nafas sama, komunisme.
Sejarah mencatat, Musso merupakan salah satu guru politik Sukarno ketika indekos di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Sukarno pun mengaku banyak belajar darinya, terutama soal marxisme. Musso tetaplah gurunya meskipun perbedaan politik nan tajam pernah terjadi di antara keduanya. Sukarno pun tak pernah mengelak soal keberadaanya. Ia tetap menaruh hormat kepada Musso seperti yang ditulis Cindy Adams dalam “Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat”. “Ajaran Jawa mengatakan, seseorang yang menjadi guru kita harus dihormati lebih dari orang tua.”
Musso tetaplah Musso. Sejarah kelam yang ditulis rezim Suharto tentang orang-orang kiri membuat namanya hilang dalam ingatan sejarah. Hanya ditulis sebagai “pemberontak”, perongrong Pancasila dan UUD 1945. Sama halnya dengan Tan Malaka yang juga bernasib sama. Namanya pun dihapus dari sejarah pergerakan kemerdekaan dan diganti dengan doktrin-doktrin penuh kebohongan oleh rezim Suharto. Sejarah orang-orang kiri pun dihapus sedemikian rupa, seolah-olah mereka hanyalah pengotor saja.
Majalah Tempo edisi Senin, 8 November 2010 mengupas tuntas soal sang legenda ini, Musso. Dengan apik, Tempo membahas banyak hal soal diri mantan anggota Komintern asal Indonesia ini. mulai sejak masa kecil, pergerakan kemerdekaan, hingga anak-cucunya sekarang.
SI MERAH DI SIMPANG REPUBLIK
Banyak orang mengenalnya sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia dalam pemberontakan 1926 dan 1948. Yang pertama aksi PKI menentang pemerintah kolonial Belanda. Yang terakhir gerakan PKI di Madiun, Jawa Timur, melawan pemerintah pusat.
Dialah Musso, anak Kediri yang ketika kecil dikenal rajin mengaji. Mendapat pendidikan politik ketika indekos di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, di masa-masa awal kemerdekaan sepak terjangnya tak bisa diremehkan. Peran politik Musso bisa disejajarkan dengan peran Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka.
Dia belajar politik di Moskow, Rusia, dan mengamati dari dekat strategi gerakan komunis Eropa. Ia bermimpi tentang negeri yang adil, setara, dan merdeka seratus persen. Ia memilih jalan radikal, bersimpang jalan dengan kalangan nonkomunis, bahkan juga kalangan kiri yang tak segaris. Tapi radikalisme itu tak membuatnya bertahan. Ia lumat dalam gerakan yang masih berupa benih. Akhir Oktober, 62 tahun lampau, Musso tersungkur.


Read more: http://kataitucinta.blogspot.com/2012/09/musso-pemimpin-pemberontakan-pki-madiun.html#ixzz2M0Sh1NrL

Cerita Musso, tokoh PKI yang ternyata anak kiai besar

Temuan baru muncul mengungkap siapa sebenarnya Musso atau Munawar Musso alias Paul Mussote (nama ini tertulis dalam novel fiksi Pacar Merah Indonesia karya Matu Mona), tokoh komunis Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era 1920-an. Nama Musso terus berkibar hingga pemberontakan Madiun 1948. Musso dilahirkan di Kediri, Jawa Timur 1897. Sering disebut-sebut, Musso adalah anak dari Mas Martoredjo, pegawai kantoran di Kediri.

Penelusuran merdeka.com mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang kiai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro. Kabar bahwa Musso diragukan sebagai anak Mas Martoredjo muncul dari informasi awal Ning Neyla Muna (28), keluarga Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri yang menyebut Musso itu adalah keluarga mereka. Sulit untuk dipercayai, jika Musso anak pegawai kantoran biasa di desa, bisa menjadi pengikut Stalin dan fasih berbahasa Rusia. Bahkan untuk berteman dengan Stalin dan bisa melakukan aktivitasnya yang menjelajah antarnegara hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya di masa itu. Kalau bukan anak orang berpengaruh, sulit pula baginya menjadi pengurus Sarekat Islam pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).

Saat di Surabaya Musso pernah kos di Jl. Peneleh VII No. 29-31 rumah milik HOS Tjokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Selain Musso di rumah kos itu juga ada Soekarno, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo. Musso, Alimin, dan Semaun dikenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sedangkan nama yang terakhir, menjelma menjadi tokoh Darul Islam, ekstrem kanan. Mereka dicatat dalam sejarah perjalanan revolusi di Indonesia. Saat kos itu, Musso menjadi salah seorang sumber ilmu Bung Karno dalam setiap percakapan. Seperti misalnya saat Musso menyoal penjajahan Belanda, “Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Merdeka.com menemui KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu Kediri untuk bertanya tentang siapa Musso. “Saya hanya mengetahui Musso memang keluarga besar Ponpes Kapurejo, namun yang paham itu adalah KH Muqtafa, paman kami.

Yang saya pahami Musso itu anak gawan (bawaan), jadi saat KH Hasan Muhyi menikahi Nyai Juru, Nyai Juru sudah memiliki putra salah satunya Musso. Makam keduanya berada di komplek Pondok Pesantren Kapurejo,” kata Gus Ibiq paggilan akrab KH Hamdan Ibiq, akhir bulan lalu. Penelusuran dilanjutkan ke rumah KH Muqtafa di Desa Mukuh, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri. Tiba di rumah KH Muqtafa, si empunya rumah tampak sedang asyik mutholaah kitab kuning (membaca dan memahami kitab kuning) tepat di depan pintu rumahnya. Setelah mengucapkan salam dan dijawab, kemudian Kyai Tafa mempersilakan masuk.

Rumah lelaki pensiunan pegawai Departemen Agama ini tampak asri, tembok warna putih dan ada bagian gebyog kayu jati yang menandakan pemiliknya orang lama. Ditambah beberapa hiasan kaligrafi Arab yang ditulis dengan indah menempel di antara dinding rumahnya. Selanjutnya Kiai Tafa masuk ke rumah induk dan berganti pakaian yang semata-mata dia lakukan untuk menghormati tamunya. Lima menit berlalu, Kiai Tafa keluar dan menanyakan maksud kedatangan. Sebelumnya lelaki yang sudah tampak uzur ini menyatakan meski keturunan keluarga pesantren, dia tak memiliki santri. Sebab dia harus menjadi pegawai negeri dan berpindah-pindah tempat. “Mau bagaimana lagi memang harus seperti itu,” kata Kiai Tafa membuka perbincangan.

Setelah mengutarakan maksud dan tujuan untuk mengetahui sejarah Ponpes Kapurejo, kemudian penuh semangat, Kiai Tafa menjelaskan secara gamblang dengan suara yang sangat berwibawa. Belum membuka pembicaraan tentang Musso, merdeka.com hanya ingin mengetahui arah pembicaraannya seperti yang disampaikan Gus Ibiq, bahwa Kyai Tafa –lah yang menjadi kunci silsilah keluarga Pondok Pesantren, Kapurejo. “KH Hasan Muhyi itu orang Mataram, sebenarnya namanya adalah Rono Wijoyo. Beliaulah pendiri Pondok Pesantren Kapurejo. Beliau menikah sebanyak tiga kali, istri pertamanya adalah Nyai Juru. Dari pernikahannya yang pertama itu KH Hasan Muhyi diberikan 12 putra. Dan maaf salah satunya mungkin orang mengenal dengan nama Musso,” ujar Kiai Tafa yang sedikit canggung ketika menyebut nama Musso. Meski canggung, Kiai Tafa kembali menegaskan itulah fakta sejarah. “Mau bagaimana lagi itulah fakta sejarah,” tukasnya.

Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo demikian nama lengkap dari Kartosoewiryo, dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu

Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo demikian nama lengkap dari Kartosoewiryo, dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Kota Cepu ini menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik.

 Ayahnya, yang bernama Kartosuwiryo bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang. Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewiryo, mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosuwiryo, pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.

Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya “gerakan pencerahan Indonesia” ketika itu, Kartosuwiryo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.
Pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosuwiryo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau Sekolah “kelas dua” untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra “pribumi”, HIS dan ELS merupakan sekolah elite. Hanya dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosuwiryo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi “guru” agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosuwiryo Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosuwiryobersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.
Selama kuliah Kartosuwiryo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai “mengaji” secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu “terasuki” oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena “terasuki” ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh “komunis” karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
Aktivitas Kartosuwiryo
Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal, “Sumpah Pemuda”.
Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia Timur), Kartosuwiryo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda sekitar 22 tahun,Kartosuwiryo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia menerbitkan berbagai artikel yang isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Ketika dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga Suffah yang pernah dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosuwiryo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar “sekuler”-nya.
Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. Di mana pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur –atau “kabur” dalam istilah orang-orang DI– ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut “kaburnya” TNI ini dengan memakai istilah Islam, “hijrah”. Dengan sebutan ini dia menipu jutaan rakyat Muslim. Namun berbeda dengan pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu apa makna “hijrah” itu.
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat yang fobi dengan Negara Islam sebagai “Islam muncul dalam wajah yang tegang.” Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah “pemberontakan”. Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah “pemberontakan”, maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan suci anti-kezhaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini. “Pemberontakan” bersenjata yang sempat menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional, bukan “pemberontakan” yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan karena sebuah “cita-cita”, sebuah “mimpi” yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.
Akhirnya, perjuangan panjang Kartosuwiryo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper, 16 Agustur l962, menyatakan bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah “pemberontakan”. Hukuman mati kemudian diberikan kepada mujahid Kartosuwiryo
Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, ternyata Soekarno dan A.H. Nasution cukup menyadari bahwa Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus dirindukan umat. Maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung Umar Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika mengeksekusi Imam Negara Islam ini.
Sekalipun jasad beliau telah tiada dan tidak diketahui di mana pusaranya berada karena alasan-alasan tertentu dari pemerintahan Soekarno, tapi jiwa dan perjuangannya akan tetap hidup sepanjang masa. Sejarah Indonesia telah mencatat walaupun dimanipulasi dan sekarang bertambah lagi dengan darah mujahid Asy-syahid S.M. Kartosoewirjo. HARI INI KAMI MENGHORMATIMU, BESOK KAMI BERSAMAMU! Insya Allah. Itulah makna dari firman Allah: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu mati); bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (QS. 2:154). CAPUNK/ KN

TAN MALAKA, Biografi Terbesar Pahlawan Terlupakan dlm Sejarah Indonesia yg Dihargai di Eropa


Karya Harry Poeze yang judulnya berarti Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 sungguh luar biasa dari segi kuantitas dan kualitas. Terdiri atas tiga jilid setebal 2.194 halaman, buku ini bukan saja menggunakan dokumen Indonesia dan Belanda, tetapi juga arsip Rusia. Ini merupakan biografi terbesar dalam sejarah modern Indonesia.


Dalam lintasan sejarah, Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusi kiri yang namanya hingga kini masih terus berkibar, paling tidak di Eropa. Sehingga tak heran jika Harry Poeze, peneliti senior sekaligus Direktur KITLV Belanda, menulis disertasi mengenai Tan Malaka pada tahun 1976 yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam dua jilid. Poeze kemudian melanjutkan buku kisah perjalanan hidup Tan Malaka ini sampai akhir hayatnya pada 1949, yang dalam buku tersebut diungkap mengenai lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur dan siapa yang menembaknya. 

Penelusuran Poeze ternyata tidak hanya berhenti disitu, pada 8 Juni 2007 lalu, di Universitas Leide Belanda, Poeze meluncurkan buku yang berjudul ‘Verguisd en Vergeten, Tan Malaka; De linkse Beweging en Indonesische Revolutien 1945-1959’. Buku setebal 2194 halaman ini di jual seharga 99,90 euro di Eropa, dan cukup mendapat apresiasi dari halayak pembaca.[/SIZE]


Pejuang antikolonialisme

Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia tahun 1919 ia bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli.

Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.

Ia berjuang menentang kolonialisme "tanpa henti selama 30 tahun" dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Ia sesungguhnya pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi Minh ( Vietnam).

Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.

Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati.

Perjuangan Tan Malaka yang bersifat lintas bangsa dan lintas benua telah diuraikan secara rinci dalam dua jilid biografi yang ditulis Poeze. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang surut. Ia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.

Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Ia memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.

Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.

Temuan baru

Banyak penemuan baru yang terdapat dalam buku Tan Malaka yang terakhir ini. Sejarah revolusi Indonesia tahun 1945-1949 seperti diguncang untuk ditinjau ulang. Peristiwa Madiun 1948 dibahas sebanyak 300 halaman. Poeze menggunakan arsip Komintern yang terdapat di Moskwa.

Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada "Paduka Tuan" Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis "saya menjamin keselamatan Pak Djoko". Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun.

Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan disamping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal Tan Malaka ketika sedang dalam pengejaran Intelijen Belanda, Inggris dan Amerika. 

Menurutnya, pendidikan rakyat jelas merupakan cara terbaik membebaskan rakyat dari kebodohan dan keterbelakangan untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Tan Malaka dan gagasannya tidak hanya menjadi penggerak rakyat Indonesia, tetapi juga membuka mata rakyat Philipina dan semenanjung Malaya atau bahkan dunia.


Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh Suradi Tekebek atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Pada masa selanjutnya, Soekotjo pernah menjadi Wali Kota Surabaya dan terakhir berpangkat brigjen, meninggal tahun 1980-an.

Dalam penelitiannya Poeze juga memanfaatkan foto-foto sejarah. Rapat raksasa di lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas) Jakarta, 19 September 1945, yang dihadiri 15.000 orang dari seputar Jakarta merupakan momen historis penting. Walau Indonesia sudah merdeka, peralihan kekuasaan belum terlaksana. Tentara Jepang masih memegang senjata dan mengancam jika rakyat mengadakan rapat lebih dari lima orang. Rapat raksasa di lapangan Ikada itu dirancang pemuda untuk memperlihatkan dukungan rakyat kepada proklamasi. Soekarno ragu untuk menghadiri rapat tersebut karena khawatir tentara Jepang melakukan penembakan massal terhadap penduduk. Rapat itu akhirnya berlangsung dan Soekarno berpidato beberapa menit.


Poeze sempat memeriksa foto-foto tentang peristiwa itu. Ia menemukan seseorang yang memakai helm di dekat Bung Karno ketika berpidato. Bahkan, pada salah satu foto, Soekarno dan orang itu berjalan berdampingan. Setelah membandingkan berbagai foto itu, berkesimpulan bahwa lelaki berhelm itu adalah Tan Malaka. Lelaki itu lebih pendek dari Soekarno dan ukurannya di foto ternyata cocok karena tinggi Soekarno adalah 1,72 meter dan Tan Malaka 1,65 meter.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Follow Twitter

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls